republicberita.com –

Farhan Abdul Majiid merupakan mahasiswa pascasarjana di area tempat School of Transnational Governance, European University Institute, Italia. Ia menekuni berbagai isu nasional lalu global dari perspektif perekonomian politik. Sebelumnya pada tahun 2019, Farhan mendapat gelar sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui akun Twitter @famajiid kemudian juga alamat email [email protected]
Profil Selengkapnya
Akhir pekan ini, guncangan dari China memproduksi pasar internasional mengalami kepanikan. Pemulihan kegiatan ekonomi pasca-Covid pada dalam China belum mampu mengembalikan kondisi prapandemi, ditambah dengan pecahnya gelembung pasar properti, dan juga juga untuk memperparah keadaan, ketegangan geopolitik dengan AS mengurangi kelincahan China dalam pasar global. Berkaca dari pengalaman Krisis Finansial Global tahun 2008, kita perlu mewaspadai gejolak ini.
Ragam Tanda yang mana Tidak Menyenangkan
Laporan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2023 dari Biro Pusat Statistik China menunjukkan kegiatan ekonomi China semata-mata bertumbuh 0,8% pada April-Juni 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan kegiatan perekonomian China sebesar 6,3%.
Data ini menunjukkan performa sektor kegiatan ekonomi China belum benar-benar pulih dari masa pandemi Covid-19. Pada periode 2010-2019, rata-rata pertumbuhan kegiatan dunia usaha China berada pada bilangan bulat 7,67%, meskipun memang sejak tahun 2012 menunjukkan tren penurunan lalu juga tiada pernah kembali pada pertumbuhan double digit seperti pada dekade sebelumnya.
Di samping pertumbuhan kegiatan ekonomi yang mana masih belum melampaui ekspektasi, China juga dihadapkan pada guncangan sektor properti. Pengembang properti terbesar China, Evergrande, baru semata-mata mengajukan perlindungan kebangkrutan dari Pengadilan AS. Ini merupakan kulminasi dari gunjang-ganjing perusahaan hal hal itu dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2021, Evergrande sudah menunjukkan tanda-tanda kerapuhannya. Pandemi Covid-19 menyebabkan perusahaan yang tersebut mengalami kesulitan likuidasi, juga terkini, dia itu harus mengatasi utang sebesar US$ 300 miliar, terbesar di area tempat dunia untuk perusahaan properti. Mangkraknya berbagai proyek perkembangan Evergrande pada area kota-kota dalam area China pun menunjukkan hambatan telah terjadi lama sampai pada pihak konsumen.
Kebijakan proteksionisme sektor kegiatan ekonomi dari AS, terkhusus pada barang produksi China, yang dimaksud berlangsung sejak masa Donald Trump kemudian juga berlanjut dalam bawah kepresidenan Joe Biden, turut memperparah kondisi kegiatan dunia usaha China. Invasi Rusia terhadap Ukraina juga semakin meningkatkan ketidakpercayaan AS terhadap China secara politik, yang dimaksud digunakan berkonsekuensi pada menurunnya kepercayaan dalam bidang ekonomi.
Sebelumnya, pasar AS merupakan pemasok permintaan terbesar bagi barang produksi China. China juga dipilih sebagai sentra produksi bagi perusahaan selama AS sebab keunggulan komparatifnya sebagai murahnya ongkos faktor-faktor produksi.
Walau begitu, seiring dengan meningkatnya pendapatan rata-rata rakyat China, merek kehilangan keunggulan yang digunakan disebut serta menghasilkan migrasi pabrik-pabrik ke luar China, termasuk ke Asia Selatan seperti India lalu Asia Tenggara seperti Vietnam.
Berkurangnya permintaan global terhadap barang produksi China berkonsekuensi pada meningkatnya bilangan pengangguran. Terbaru, Biro Pusat Statistik China bahkan menghentikan rilis hitungan pengangguran, setelah dalam beberapa bulan terakhir mencetak rekor tertinggi dalam sejarah China kontemporer. Rilis terakhir pada dalam bulan Juni 2023 menunjukkan hitungan 21,3% pengangguran pada penduduk usia pada bawah 25 tahun, terburuk dalam empat dekade terakhir.
Rem Mendadak Mesin Penggerak?
Pertumbuhan kegiatan kegiatan ekonomi China dalam empat dekade terakhir memang teramat impresif. Pada tahun 1990, sebanyak 90% penduduk China masih hidup dengan penghasilan dalam area bawah US$ 3,20 dolar per hari. Di tahun 2019 cuma tersisa 1,7% saja. Ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan masif pada tempat negeri berpenduduk terbesar dunia ini.
Reformasi perekonomian China, melalui pembukaan tirai bambunya kepada pasar internasional, terbukti menjadikan China sebagai negara industri utama dunia. Sebuah adagium terkenal menyebut, jika Eropa berhasil menjadi negara industri dalam tiga generasi kemudian juga Jepang dalam dua generasi, maka China cukup hanya saja hanya dalam satu generasi. Berbagai indikator yang mana digunakan ada memperkuat pernyataan ini.
Bahkan, ketika dunia usaha global mengalami guncangan hebat dalam tahun 2008-2010 akibat krisis Finansial yang dimaksud yang disebut bermula di dalam tempat AS lalu juga berlanjut ke Eropa melalui Krisis Zona Euro, China tetap tumbuh secara impresif. Dalam tiga tahun tersebut, kegiatan ekonomi China tumbuh masing-masing sebesar 9,7%, 9,4%, lalu 10,6%. China pun menyalip Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua pada dunia kemudian mendapat julukan sebagai “mesin penggerak pertumbuhan global”.
Akan tetapi, pertanda yang mana digunakan terjadi seolah menyiratkan perlambatan gerak dari mesin pertumbuhan ini. Pertumbuhan kegiatan ekonomi China di dalam area kuartal kedua tahun ini memang masih dalam atas rata-rata proyeksi pertumbuhan global yang dimaksud dimaksud semata-mata 3%.
Namun, jika perlambatan di tempat area China berlanjut, dapat diperkirakan pertumbuhan global pun bergabung mengalami penurunan, mengingat besarnya skala perekonomian China. Jangan sampai, kisah stagnansi Jepang dalam tiga dekade terakhir sesudah menjadi percontohan kesuksesan perkembangan dunia bisnis sepanjang abad 20 terulang oleh China.
Potensi Dampak Bagi Indonesia
Melambatnya pertumbuhan dunia usaha China dapat membawa kabar buruk bagi Indonesia. Hubungan saling-ketergantungan perekonomian antara China serta Indonesia semakin erat dalam dua dekade terakhir, yang mana itu artinya apabila terjadi guncangan di area tempat satu pihak akan turut menggoyang pihak lainnya.
Pada saat Krisis Finansial Global terjadi, salah satu faktor utama tetap tumbuhnya ekonomi Indonesia adalah adanya permintaan dari China, sehingga dapat mengompensasi menurunnya permintaan dari pasar global yang mana mana melesu. Terkini, kebijakan hilirisasi industri nikel oleh pemerintah Indonesia juga sebagian besar ditopang oleh permintaan industri kendaraan listrik dari China, serta juga dapat membantu Indonesia untuk mengembalikan pertumbuhan sektor ekonomi pasca-pandemi.
Dalam satu tahun terakhir (Juni 2022-Juni 2023), perdagangan antara Indonesia kemudian China mengalami penurunan. Ekspor Indonesia ke China semata-mata sebesar 5.5 Milyar Dolar AS di area tempat bulan Juni 2023, turun 10.3% dari bulan Juni 2022 sebesar 6.13 Milyar Dolar AS.
Impor Indonesia dari China pun turun, dari 6.54 Milyar Dolar AS pada Juni 2022 menjadi 5.29 Milyar Dolar AS pada Juni 2023. Padahal, China saat ini sudah menjadi destinasi ekspor utama Indonesia.
Dari dalam negeri, kondisi ekonomi Indonesia juga sedang kurang menggembirakan. Berbagai BUMN Karya, yang tersebut mana selama ini menjadi penggerak bagi perkembangan infrastruktur, menunjukkan persoalan yang dimaksud mana terus bermunculan. Mulai dari dugaan korupsi melalui proyek fiktif hingga dugaan manipulasi laporan keuangan menghasilkan likuidasi mereka itu bermasalah.
Dari sisi konsumen, survei BI di dalam area bulan Juli juga memacu kewaspadaan serupa. Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini, juga Indeks Ekspektasi Konsumen menunjukkan penurunan berturut-turut sejak bulan April. Selain itu, perdagangan dalam dalam penduduk juga mengalami penurunan yang dimaksud digunakan ditunjukkan oleh penurunan Indeks Penjualan Riil yang turun.
Kekhawatiran akan pecahnya gelembung pinjaman online berbunga tinggi juga menyeruak pada masyarakat. Meski pinjaman online dapat mendongkrak konsumsi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat simpanan lalu konsumsi penduduk lantaran terjerat oleh hutang. Terlebih, sampai saat ini masih dijumpai berbagai sistem penyedia pinjaman online ilegal yang dimaksud dimaksud dapat semakin memperlambat kegiatan ekonomi pada masyarakat.
Kondisi perekonomian yang tersebut belum sepenuhnya sehat meningkatkan risiko krisis akibat guncangan dari eksternal. Kita tentu berharap bahwa perlambatan perekonomian dalam tempat China tiada berdampak parah ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mencari berbagai alternatif pertumbuhan selain melalui perdagangan lalu pembangunan sektor ekonomi dari China. Pemerintah juga perlu menjaga pendapatan warga agar tingkat konsumsi terjaga.
Besarnya gagal bayar sektor swasta berkontribusi besar dalam krisis Indonesia tahun 1998, begitupun hancurnya gelembung pasar properti menjadi penyulut krisis Finansial Global tahun 2008, sementara kacaunya transparansi data perekonomian oleh pemerintah menjadi pendorong Yunani hingga terjungkal di dalam area Krisis Euro tahun 2009. Tiga krisis ekonomi yang digunakan mana telah terjadi lama lalu menunjukkan pentingnya pengelolaan hutang baik sektor rakyat maupun privat, sehatnya pasar properti, lalu transparansi data dunia usaha oleh pemerintah.
Pemerintah perlu mengelola pelajaran dari krisis yang mana telah terjadi terjadi lalu ini untuk menjaga faktor risiko dari prospek krisis. Kita pun perlu meneropong kondisi pada luar negeri, terutama dari negara kegiatan dunia usaha utama dunia seperti China, dalam pengelolaan faktor-faktor ini, oleh sebab itu dapat memantik guncangan pasar di area dalam dalam negeri. Dengan begitu, kita dapat menjaga momentum pemulihan pasca-pandemi juga menurunkan risiko perekonomian bagi penduduk untuk menumbuhkan kesejahteraannya.