Opini  

Waspada Dampak Kebijakan Industri Amerika Serikat

Waspada Dampak Kebijakan Industri Amerika Serikat

republicberita.com –

Farhan Abdul Majiid

Farhan Abdul Majiid

Farhan Abdul Majiid merupakan mahasiswa pascasarjana pada School of Transnational Governance, European University Institute, Italia. Ia menekuni berbagai isu nasional kemudian global dari perspektif dunia bidang usaha politik. Sebelumnya pada tahun 2019, Farhan mendapat gelar sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui akun Twitter @famajiid serta alamat email [email protected]

Profil Selengkapnya

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat proses hilirisasi industri di tempat area tanah air akan menemui hambatan baru. Amerika Serikat sudah lama mengeluarkan dua kebijakan industri penting, yakni Inflation Reduction Act (IRA) serta CHIPS and Science Act (CSA).

Dua kebijakan hal itu berpotensi mengembalikan proteksionisme industri juga menurunkan daya saing dari industri negara berkembang. Indonesia perlu mewaspadainya.

Dua kebijakan hal yang disebut merupakan respons AS terhadap dua tantangan utama bagi perekonomiannya dalam beberapa tahun terakhir, yakni meningkatnya ketegangan geopolitik dengan China serta inflasi tinggi pascapandemi Covid-19.

Ketegangan geopolitik dengan China sebenarnya bukan persoalan baru. Sejak akhir masa jabatan Barack Obama, AS mulai menggeser pusat perhatiannya dari kawasan Timur Tengah ke Asia-Pasifik.

Naiknya Donald Trump mengekskalasi ketegangan ini melalui jargon Perang Dagang dengan China. Ketika Joe Biden menjadi presiden, padahal dalam permukaan tampak menghadirkan perubahan, kebijakan ekonominya tetap melanjutkan Trump dalam menjaga jarak dengan China.

Sementara itu, tahun lalu AS dihadapkan pada inflasi tinggi pascapandemi Covid-19. Berbagai program stimulus dunia usaha ketika pandemi rupanya menimbulkan overheat dalam perekonomian yang digunakan dimaksud berdampak pada inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.

Pemerintah AS bereaksi dengan mengeluarkan Inflation Reduction Act. Sekilas, IRA memang merupakan bentuk penerjemahan atas strategi mengurangi inflasi kemudian upaya mengupayakan industri hijau pada dalam AS.

Begitu pula dengan CSA yang tersebut di area area permukaan tampak sebagai bentuk keberpihakan terhadap industri dalam negeri AS. Akan tetapi, jika ditelisik tambahan banyak mendalam, berbagai poin dalam kedua kebijakan yang mana menyiratkan kembalinya preferensi kebijakan proteksionisme.

Dari sini, banyak pakar menilai bahwa pertimbangan geopolitik sangat tambahan banyak besar ketimbang sektor perekonomian baik pada IRA maupun CSA.

Kekhawatiran bagi AS, Konsekuensi bagi Dunia
Meskipun narasi kebangkitan dunia usaha lalu juga teknologi China telah dilakukan lama sering kita dengar, sebenarnya AS tetap menjadi negara paling kuat dalam penguasaan dunia usaha maupun teknologi. Akselerasi China memang besar, namun akumulasi pengetahuan AS yang mana dimaksud sudah berlangsung berjauhan lebih lanjut banyak lama membuatnya dalam kemapanan yang dimaksud sulit dibantah.

Persoalan utama bagi bukan pada penguasaan teknologi ataupun kekuatan ekonomi, melainkan ada pada produksi. Banyak perusahaan AS yang dimaksud mana melakukan alihdaya produksinya pada tempat negara lain dengan biaya produksi lebih lanjut tinggi rendah.

Kecenderungan ini sudah dimulai sejak empat dekade lalu juga terus berlanjut hingga kini. Perakitan perangkat keras Apple, misalnya, sebagian besar diimplementasikan di dalam tempat China.

Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dunia, produksi teknologi penting pada negara lain tentu tak dianggap aman. Bahkan, produksi chip tingkat tinggi yang dimaksud hal tersebut sebagian besar diimplementasikan di dalam area negara sahabat AS seperti Taiwan lalu Korea Selatan, juga tiada dianggap kurang aman. Ancaman invasi Korea Selatan oleh Korea Utara serta keinginan pengambilalihan Taiwan oleh China daratan selalu membayang-bayangi AS.

Atas alasan inilah, AS ingin mengembalikan kembali produksi manufaktur ke dalam negeri. Sejak kepresidenan Trump, AS sudah memulai kampanye untuk membeli barang hasil produksi AS. Pembangunan pabrik manufaktur pun diberi insentif, dari pajak hingga faktor produksi.

Kebijakan IRA serta CSA di tempat area kepresidenan Biden semakin menguatkan ambisi ini. AS berupaya memperkuat keunggulan kompetitifnya tiada belaka sekali pada penguasaan ilmu pengetahuan atas teknologi, tetapi juga pada produksi barang-barang berteknologi tinggi juga hijau. Bagi konsumen, pemindahan produksi ke AS ini sebenarnya dianggap tak terlalu menguntungkan akibat akan meningkatkan nilai tukar akibat biaya produksi yang dimaksud itu lebih besar besar tinggi pada AS.

Signifikansi AS dalam peta geopolitik juga geoekonomi dunia memproduksi dampak dari kebijakan ini menjadi global. Bagi negara berkembang, merek harus bersaing dengan AS dalam kebijakan industrinya, sebuah persaingan yang tersebut digunakan teramat timpang.

Dampak serupa juga dirasakan di dalam area negara maju. Banyak negara Eropa yang dimaksud dimaksud memprotes kebijakan AS ini, mengingat selama ini Eropa merupakan sentra industri hijau utama dunia. Kebijakan IRA lalu CSA akan memindahkan keunggulan yang dimaksud mana selama ini dimiliki oleh Eropa ke AS.

Indonesia harus Waspada
Perang dagang antara AS-China ini pada akhirnya mengarah pada perang teknologi tinggi terkait komputer antara keduanya (decoupling). Bagi negara yang digunakan digunakan tidaklah menguasai produksi teknologi ini, decoupling antara AS-China belaka belaka memberi dua opsi: memihak salah satunya atau mengambil keduanya.

Memihak salah satu negara akan berkonsekuensi pada perenggangan hubungan urusan kebijakan pemerintah sementara mengambil keduanya akan berkonsekuensi pada meningkatnya inefiseinsi biaya akibat adaptasi dua sistem teknologi yang tersebut mana berbeda.

Beberapa negara pada area Eropa, yang mana itu secara sektor ekonomi sebenarnya tergolong maju namun tiada menguasai produksi teknologi ini, memilih untuk mengadaptasi secara selektif. Teknologi yang mana mana dipakai dalam sistem pemerintah juga militer cuma mengadopsi teknologi AS, sementara untuk penduduk umum, baik produksi AS maupun China sama-sama diperjualbelikan.

Di masa industri berbasis internet (Internet of Things -IoT) serta industri 4.0 ini, teknologi tinggi dalam tempat bidang komputer sudah menjadi faktor produksi yang mana yang disebut krusial. Tidak sanggup jadi dibayangkan perusahaan start-up dapat berjalan tanpa chip penyimpanan berteknologi nano atau teknologi kecerdasan buatan.

Masalahnya, pengembangan industri 4.0 dalam Indonesia masih berkutat pada konsumsi ketimbang produksi. Artinya, kita masih bergantung pada faktor produksi dari luar negeri. Kebijakan proteksionisme AS lalu juga perang teknologinya dengan China akan meningkatkan biaya faktor produksi.

Ketika biaya untuk faktor produksi meningkat, nilai tukar barang yang mana hal itu diproduksi juga akan meningkat. Konsumsi yang digunakan itu selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, akan beralih menjadi liabilitas.

Kebijakan pemerintah untuk memasuki industri faktor produksi pun masih berkutat pada industri ekstraktif bernilai tambah rendah dengan biaya lingkungan tinggi. Betapapun pentingnya nikel dalam produksi sel untuk mobil listrik, misalnya, tetap nilai tambahnya jarak sangat lebih lanjut tinggi rendah ketimbang perakitan apalagi produksi mesinnya. Dalam kebijakan IRA pun, nikel dari Indonesia bukan termasuk substansi baku yang digunakan hal itu mendapat insentif.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir teknologi sel yang mana lebih lanjut tinggi hemat energi serta ramah lingkungan tanpa menggunakan nikel sudah mulai dikembangkan. Jika teknologi hal itu telah terjadi terjadi diproduksi massal juga mampu menggantikan nikel sebagai unsur baku, bukan bukan mungkin ekstraksi nikel akan ditinggalkan. Sementara yang dimaksud tersisa tinggallah lubang-lubang tambang yang mana digunakan menganga.

Menggantungkan diri pada industri ekstraktif, sebesar apapun kekayaan negara kita, tiada akan membawa Indonesia menjadi negara maju dalam waktu dekat. Mengharapkan perkembangan industri jasa informal bernilai tambah minim yang mana mana abai terhadap kesejahteraan pekerja juga pilihan yang keliru.

Diperlukan kebijakan industri berbasis manufaktur secara massif untuk mengakselerasi pertumbuhan kegiatan sektor ekonomi juga menjadikannya pondasi untuk menaiki tangga rantai nilai global. Dengan begitu, meningkatkan pendapatan per kapita, yang dimaksud menjadi kunci naik kelas menjadi negara maju, mampu kita capai.