republicberita.com –

Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang mana digunakan ingin berbisnis dalam Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Jane’s Aerospace, Defense & Security, Country Representative – Indonesia pada tahun 2012-2017 yang dimaksud digunakan bertanggungjawab terhadap pengembangan pasar Jane’s dalam area Indonesia. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman miliki spesialisasi dalam bidang industri pertahanan, pasar pertahanan serta kebijakan pertahanan. Sebelum bergabung dengan Jane’s, Alman pernah bekerja pada lembaga think-tank dalam Jakarta yang berfokus pada isu pertahanan serta juga maritim. Dapat dihubungi melalui [email protected] kemudian atau [email protected]
Profil Selengkapnya
Salah satu hal yang mana itu pasti dalam dinamika pengadaan sistem senjata pada periode 2020-2024 adalah kepastian perubahan anggaran pengadaan yang mana mana dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN).
Berbeda dengan prediksi di tempat area awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020 ketika kemampuan fiskal pemerintah sebagian besar harus dialihkan untuk penanganan Covid-19 sehingga belanja pertahanan diperkirakan akan terkena dampak, fakta menunjukkan bahwa alokasi belanja pemerintah yang digunakan dibiayai oleh PLN justru terus mengalami peningkatan.
Bila hingga perubahan kedua Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 Kementerian Pertahanan mendapatkan porsi PLN sebesar US$ 20,7 miliar, maka revisi ketiga Blue Book menaikkan kuota PLN sebesar US$ 5 miliar sehingga menjadi US$ 25,7 miliar. Angka yang tersebut cukup fantastis lantaran sejak Reformasi 1998 belum pernah pemerintah menyiapkan peruntukan PLN sedemikian besar untuk modernisasi kekuatan pertahanan.
Merupakan fakta yang yang bukan dapat dibantah bahwa kemampuan fiskal pemerintah untuk menyokong belanja sistem senjata menggunakan Rupiah Murni masih terbatas, sehingga PLN sejak lama selalu menjadi tumpuan. Berbeda dengan persepsi kalangan awam selama ini, pemakaian PLN bukan belaka untuk membeli item mesin perang negara asing, tetapi digunakan pula untuk pengadaan sistem senjata yang tersebut dimaksud diproduksi pada dalam negeri.
Contohnya adalah pengadaan CN235 kemudian N219 beserta suku cadang bagi TNI Angkatan Darat dengan total nilai program hampir mencapai US$100 juta. Sumber pembiayaan PLN yang tersebut mana dapat dibelanjakan dalam Indonesia biasanya berasal dari Kredit Swasta Asing kemudian bukan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (Export Credit Agency).
Alokasi PLN untuk pengadaan mesin perang kembali mengalami peningkatan belum lama ini menjadi US$ 34,4 miliar. Terdapat peningkatan lebih banyak besar dari US$ 8 miliar berdasarkan permintaan Kemenhan yang mana mana disetujui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam bentuk perubahan keempat Blue Book.
Kenaikan hal hal itu sebenarnya diikuti pula dengan realokasi kegiatan juga juga pengalihan anggaran, pada mana hal yang mana terakhir maksudnya adalah terdapat kegiatan yang dimaksud digunakan sebagian porsi pembiayaannya dikurangi kemudian dialihkan guna mendanai aktivitas lain. Adapun mengenai realokasi kegiatan, terdapat dua program yang digunakan mengalami realokasi demi membiayai kegiatan belanja lain yang digunakan mana dipandang lebih lanjut tinggi strategis sekaligus mendesak.
Rencana akuisisi pesawat tempur F-15EX karya Boeing nampaknya dipandang tambahan strategis juga mendesak, sehingga dua kegiatan lain harus terkena dampak. Secara politik, pengadaaan jet tempur selama Amerika Serikat ini strategis sebab Jakarta ingin menjaga relasi diplomatik dengan Washington, selain kebijakan belanja pertahanan yang digunakan yang memberikan prioritas pembelian mesin perang dari negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Karena beberapa orang pertimbangan urusan kebijakan pemerintah serta ekonomi, Indonesia memberikan prioritas belanja sistem senjata dari Prancis, Inggris kemudian Amerika Serikat. Jakarta tengah melakukan perdagangan pertahanan dengan Paris juga London, namun belum melaksanakan kegiatan serupa dengan Washington.
Sesungguhnya Indonesia kemudian Amerika Serikat telah dilakukan dikerjakan mencapai kesepakatan awal mengenai pengadaan F-15EX lalu rancangan Letter of Offer and Acceptance (LOA) sudah siap untuk ditandatangani pada tahun lalu. Namun saat itu Indonesia belum dapat meyakinkan ketersediaan pembiayaan program, padahal dalam situasi normal negara pembeli sistem senjata buatan Amerika Serikat harus membayar uang muka dalam 30 hari kalender setelah LOA diteken.
Mengingat makin sempitnya ruang fiskal pemerintah, diambil kebijakan untuk mendanai aktivitas impor jet tempur dengan syarat Amerika Serikat dengan mengambil dana dari dua kegiatan lain. Hal demikian merupakan usulan Medan Merdeka Barat yang dimaksud disetujui oleh Taman Suropati.
Dalam DRPLN-JM 2024 keluaran terakhir, program F-15EX mendapatkan alokasi PLN senilai US$ 1,6 miliar yang dimaksud merupakan hasil realokasi kegiatan pembelian kapal perusak dari Cina sebesar US$600 jt serta pembayaran cost share program KFX/IFX beberapa US$ 1 miliar. Dengan realokasi kegiatan akuisisi kapal perusak, Indonesia membatalkan rencana mengimpor kapal perang bekas dari Cina sebab semua alokasi PLN dialihkan kepada program F-15EX.
Sedangkan peruntukan pembayaran cost share pengembangan pesawat tempur bersama Korea Selatan sebagian besar direalokasikan bagi akuisisi jet tempur yang digunakan digunakan memakai engine buatan General Electric. Besaran anggaran yang dimaksud dimaksud diambil dari program KFX/IFX untuk kegiatan F-15EX adalah US$ 1 miliar, namun masih tersisa dana agar Jakarta tetap dapat menunaikan kewajibannya kepada Seoul.
Mengingat bahwa kemampuan pembiayaan PLN untuk pengadaan F-15EX cuma sekali US$ 1,6 miliar, menjadi pertanyaan seberapa besar offset yang mana digunakan akan diterima oleh Indonesia. Sesungguhnya Indonesia serta Boeing pada 2022 sudah mencapai kesepakatan tentang paket offset, namun hal itu berdasarkan asumsi bahwa program F-15EX bernilai sekitar US$ 9 miliar.
Dengan perkembangan terakhir, sangat diragukan Indonesia akan meraih offset yang tersebut dimaksud signifikan dengan semata-mata cuma bermodalkan US$ 1,6 miliar. Penting untuk dipahami bahwa kesepakatan offset antara Indonesia juga Boeing bukan merupakan bagian dari LOA, sebab bagi pemerintah Amerika Serikat urusan offset adalah urusan antara produsen sistem senjata juga calon pembeli.
Apakah Indonesia semata-mata akan membeli F-15EX dengan nilai US$ 1,6 miliar? Dalam edisi termutakhir Blue Book, terdapat program Multi Role Combat Aircraft (MRCA) sebesar US$ 1 miliar, namun anehnya tak disebut tipe jet tempur yang dimaksud dimaksud akan dibeli.
Dugaan awal adalah program ini ditujukan bagi pengadaan F-16 sebab pada awal tahun ini permintaan program serupa pernah diajukan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Akan tetapi dalam usulan revisi DRPLN-JM 2020-2024 beberapa waktu kemudian, program MRCA demikian bukan lagi menyebut nama F-16. Sehingga kegiatan itu dapat semata memunculkan multitafsir lalu mungkin membuka peluang bagi produsen pesawat tempur selain Lockheed Martin untuk mengajukan penawaran.
Selain pengadaan pesawat tempur baru, perubahan keempat Blue Book masih mengakomodasi akuisisi pesawat tempur bekas yakni Mirage 2000-9. Dalam program yang digunakan dimaksud nilainya tambahan tinggi kecil dibandingkan rencana mendatangkan Mirage 2000-5 dari Qatar, Uni Emirat Arab diduga kuat akan memasok pesawat tempur bekas ke Indonesia.
Tentu semata pembelian jet tempur bekas selalu memunculkan perdebatan, baik dari sisi biaya maupun sisa usia airframe pesawat yang tersebut mana dibeli. Kunci dari rencana mendatangkan mesin perang bekas dari dua negara Teluk tidaklah ditentukan oleh Indonesia, akan tetapi oleh Prancis sebab Qatar serta Uni Emirat Arab tak mampu mengirimkan Mirage 2000-5 lalu 2000-9 tanpa lisensi re-ekspor dari Paris.