republicberita.com –

Budi Leksono merupakan individu Profesor Riset serta sudah pernah berkecimpung pada bidang Genetika lalu Pemuliaan Tanaman Hutan sejak tahun 1994 pada tempat bawah Kementerian Lingkungan Hidup serta Kehutanan, kemudian sejak Maret 2022 beralih tugas ke Badan Riset juga Inovasi Nasional (BRIN). Budi telah lama terjadi menghasilkan 145 karya tulis ilmiah dalam bentuk 14 buku juga juga 131 jurnal-prosiding yang digunakan mana diterbitkan dalam media publikasi ilmiah nasional lalu internasional. Budi memperoleh gelar Doktor dari Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo, Jepang dalam bidang genetika kuantitatif serta menyandang gelar Insinyur (Kehutanan) kemudian juga Magister (Pemuliaan Tanaman Hutan) dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia.
Profil Selengkapnya
Krisis energi dunia pada awal tahun 2000, yang digunakan ditandai dengan melonjaknya tarif minyak bumi/BBM, mengupayakan penduduk dunia mengalihkan sumber energinya ke energi baru terbarukan (EBT) yang mana dimaksud ramah lingkungan serta dapat diperbarui. EBT juga menjadi salah satu rencana penting dalam acara Conference of the Parties-28 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-28 UNFCCC) pada 30 November-12 Desember 2023 di tempat tempat Dubai, Uni Emirat Arab, untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim.
Salah satu bentuk energi alternatif yang digunakan dimaksud banyak dikaji lalu dikembangkan adalah biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel merupakan salah satu produk-produk biofuel yang tersebut yang disebut mampu mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, karbon monoksida, sulfat, nitrat kemudian hidrokarbon polisiklik aromatik, serta partikel padatan, sehingga merupakan unsur bakar yang digunakan disukai lantaran ramah lingkungan.
Selain itu, item lain dari biofuel adalah bioavtur (Sustainable Aviaton Fuel/ SAF) yang dimaksud digunakan mulai menarik pasar global untuk memenuhi kebutuhan komponen bakar pesawat terbang pada masa datang lalu dalam pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050.
Sepanjang 2020, konsumsi biofuel global mencapai 1,68 jt barel per hari (bph). Amerika Serikat menjadi negara yang mana mengonsumsi biofuel paling tinggi pada tempat dunia sebesar 558 ribu bph atau 33,2% dari total konsumsi biofuel dunia.
Brasil pada posisi kedua sebanyak 418 ribu bph serta Indonesia di area dalam posisi ketiga dengan konsumsi sebesar 98 ribu bph, berturut-turut sebesar 24,9% serta 5,8% dari total konsumsi biofuel dunia. Diikuti negara lain yang dimaksud termasuk mengkonsumsi biofuel dalam area bawah 5% dari total konsumsi biofuel dunia (Eropa, Asia, Kanada).
Dalam Skenario NZE, konsumsi biofuel tahun 2030 meningkat menjadi 6 jt bph kemudian tahun 2050 menjadi 7 jt bph. Sementara, permintaan bioavtur diperkirakan akan meningkat tambahan banyak dari dua kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan dengan tingkat pra-Covid, yang dimaksud yang selama ini mengandalkan materi baku dari jelantah (Used cooking oil/ UCO).
Permintaan bioavtur global, berkembang pesat kemudian mulai menonjol setelah tahun 2030 hingga tahun 2050, mencapai 450M liter untuk produksi tahunannya. Permintaan yang tersebut melampaui pasokan 25% atau tambahan hingga tahun 2040, terutama di dalam area dua pasar penerbangan terbesar di area dalam dunia, yaitu Uni Eropa (UE) serta Amerika Serikat (AS).
Isu pengembangan biofuel yang tersebut hal tersebut bukan bertarik kepentingan dengan pangan lalu juga ramah lingkungan menjadi tantangan untuk permintaan biofuel yang tersebut hal tersebut sangat tinggi dalam masa datang. Isu hal hal itu dinilai dapat menimbulkan kesulitan lingkungan serta mengancam ketahanan pangan sehingga membuka pasar global biofuel menggunakan unsur baku non-pangan atau non-edible oil untuk memenuhi permintaan global biofuel.
Peluang besar itu sangat terbuka bagi Indonesia sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang mana dimaksud tinggi lalu potensial menghasikan biofuel, disamping ketersediaan lahan yang dimaksud mana luas untuk pengembangan bioenergi. Hal ini juga sebagai kesempatan bagi Indonesia yang digunakan mana pernah menjadi eksportir minyak (BBM) hingga sebelum tahun 2004.
Karena pada triwulan pertama tahun tersebut, harian The Asian Wall Street Journal (18/5/2004) memaparkan fakta status Indonesia sebagai negara “net oil importer” manakala total minyak yang tersebut dimaksud diimpor untuk keperluan BBM dalam negeri (sekitar 484.000 bph) sudah melampaui jumlah keseluruhan agregat minyak yang digunakan bisa jadi jadi diekspor (sekitar 448.000 bph). Kondisi impor BBM itu terus meningkat, sementara total yang mana dimaksud diekspor terus menurun.
Dukungan pemerintah Indonesia dalam pengembangan EBT dari tanaman hutan terus meningkat. Kementerian Lingkungan Hidup juga Kehutanan (KLHK) terus memacu pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk energi atau HTE, salah satunya dengan pelepasan kawasan hutan 6,91 jt ha yang tersebut mana juga berpotensi untuk menjadi sumber bioenergi, pada samping lahan kritis seluas 12,7 jt hektare yang tersebut dimaksud harus segera direhabilitasi.
Pemerintah juga mulai menerapkan paradigma baru pengelolaan kawasan hutan produksi, melalui pendekatan multi kegiatan bisnis kehutanan (MUK) sejak tahun 2021. Paradigma baru itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Indonesia mempunyai harapan yang tersebut itu besar dalam pengembangan biofuel untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia tersebut, oleh sebab itu usaha dalam bidang bioenergi memerlukan spesies yang tersebut dimaksud cepat berbuah dengan produktivitas tinggi juga masa berbuah panjang, mempunyai rendemen minyak yang mana tinggi juga terjamin kelestarian produksinya.
Beberapa spesies dari hutan tropis dalam Indonesia, berpotensi sebagai materi baku biofuel seperti: nyamplung, malapari, saga hutan, bintaro, kepuh, kesambi, kelor, dll. Species yang mana hal tersebut sudah lama dikaji berbuah cepat, mempunyai produktivitas biji juga rendemen minyak tinggi, mudah teknik budidayanya, teknologi pengolahan menjadi biodiesel serta pemanfaatan limbah industrinya sudah lama dikuasai adalah Nyamplung (Calophyllum inophyllum) kemudian Malapari (Pongamia pinnata).
Produktivitas buah lalu rendemen minyak (crude oil) berturut-turut sebesar 15-20 ton/ha/tahun serta 50-69% untuk Nyamplung lalu 9-12 ton/ha/tahun lalu 25-28% untuk Malapari. Rendemen minyak itu masih dapat ditingkatkan dengan metode solven (n-hexane).
Kedua spesies hal itu telah dilakukan lama terbukti dapat menghasilkan biodiesel serta sudah memenuhi persyaratan SNI Biodiesel. Dalam skala laboratorium, kedua spesies itu juga sudah pernah berhasil diolah menjadi bioavtur (SAF) kemudian saat ini sedang dikembangkan untuk skala yang digunakan dimaksud lebih banyak tinggi besar.
Selain non-edible oil, spesies hal itu merupakan tanaman asli (native) serta tersebar luas di dalam area Indonesia serta mempunyai adaptabilitas tinggi/ toleran pada lahan-lahan kritis (lahan terdegradasi). Spesies itu juga telah lama lama lama dikembangkan sebagai tanaman konservasi pada Indonesia (pemecah angin, konservasi air, sempadan sungai, rehabilitasi lahan) dikarenakan ever green serta mempunyai kemampuan penyerapan karbon yang dimaksud tinggi.
Permintaan pengembangan biofuel non-edible oil dari luar negeri ke Indonesia saat ini mulai berdatangan untuk memenuhi kebutuhan biofuel global ke depan, sehingga pengembangan biofuel dalam skala industri merupakan suatu keniscayaan. Hal ini juga membuka kesempatan Indonesia untuk kembali menjadi negara produsen atau pengekspor minyak dalam bentuk Bahan Bakar Nabati (BBN).