republicberita.com –

Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang dimaksud dimaksud ingin berbisnis pada Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Jane’s Aerospace, Defense & Security, Country Representative – Indonesia pada tahun 2012-2017 yang mana dimaksud bertanggungjawab terhadap pengembangan pasar Jane’s di dalam dalam Indonesia. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman miliki spesialisasi pada tempat bidang industri pertahanan, pasar pertahanan lalu kebijakan pertahanan. Sebelum bergabung dengan Jane’s, Alman pernah bekerja pada lembaga think-tank dalam Jakarta yang mana dimaksud berfokus pada isu pertahanan lalu maritim. Dapat dihubungi melalui [email protected] lalu juga atau [email protected]
Profil Selengkapnya
Indonesia juga Prancis melaksanakan forum pertemuan 2+2 pada tempat Paris yang digunakan digunakan melibatkan Menteri Pertahanan serta Menteri Luar Negeri kedua negara pada 21 Juli 2023. Forum 2+2 Indonesia lalu Prancis tercatat sebagai forum pertama antara Indonesia dengan negara Eropa juga merupakan forum 2+2 ketiga yang mana dipunyai oleh Indonesia.
Sebelumnya Indonesia telah terjadi dijalani mempunyai forum serupa dengan Australia juga Jepang, namun setiap forum 2+2 mempunyai karakteristik yang mana digunakan berbeda-beda yang tersebut digunakan ditentukan oleh kepentingan nasional Indonesia kemudian negara mitra. Di antara karakteristik unik hubungan diplomatik Indonesia serta Prancis adalah intensifnya kerja mirip pada area bidang industri pertahanan dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam Defense Cooperation Agreement (DCA) yang tersebut yang disepakati oleh kedua negara pada 28 Juni 2021, salah satu bidang kerja sejenis adalah industri pertahanan. Bagi Indonesia, kerja sebanding industri pertahanan dengan Prancis bukan semata tentang impor sistem senjata buatan Prancis untuk memodernisasi kekuatan pertahanan, tetapi pula kemitraan industri untuk memajukan industri pertahanan Indonesia.
Indonesia bukan semata-mata sekadar ingin membelanjakan sekitar US$ 12 miliar antara 2020-2024 dari Prancis untuk pengadaan seperti 42 Rafale dari Dassault Aviation kemudian dua Scorpene buatan Naval Group, tetapi menghendaki pula kontribusi industri pertahanan Prancis terhadap upaya pemajuan industri pertahanan Indonesia agar Indonesia dapat menciptakan otonomi strategis dalam jangka panjang.
DCA Indonesia juga Prancis adalah salah satu di area dalam antara belasan kesepakatan kerja identik pertahanan atau kesepakatan serupa yang dimaksud sudah ditandatangani oleh Indonesia dengan banyak negara sejak 2004 hingga saat ini. Apabila dicermati lebih besar lanjut lanjut, tiada banyak kesepakatan kerja sejenis pertahanan yang mana mana telah terjadi dikerjakan diterjemahkan dari Government to Government (G-to-G) menjadi Business to Business (B-to-B).
Dari sisi Indonesia, upaya menerjemahkan kesepakatan G-to-G menjadi B-to-B dipengaruhi oleh sikap pemerintah juga industri pertahanan Indonesia sendiri. Padahal kesepakatan diplomatik seperti kerja identik pertahanan seharusnya diterjemahkan ke tingkat praktis, yaitu kemitraan industri agar hasil diplomasi dapat menjadi keuntungan ekonomis yang dimaksud yang dirasakan oleh industri pertahanan Indonesia.
Penerjemahan kesepakatan kerja mirip pertahanan menjadi kemitraan industri merupakan sebuah keharusan bagi Indonesia berdasarkan beberapa alasan.
Pertama, diplomasi harus selalu melayani kepentingan nasional. Kesepakatan kerjasama pertahanan antara Indonesia dengan beberapa negara merupakan hasil diplomasi yang mana itu dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri lalu Kementerian Pertahanan.
Mengingat bahwa diplomasi mengandung aspek perekonomian pada dalamnya, merupakan tugas para aktor terkait di dalam tempat dalam negeri untuk mengimplementasikan kesepakatan kerja sebanding pertahanan menjadi aktivitas industri pada tingkat B-to-B. Dengan demikian, kegiatan diplomasi tidaklah ada lagi dipandang sebagai suatu hal yang mana bersifat elitis, namun mampu diterjemahkan menjadi kegiatan sektor ekonomi yang digunakan menggalang pencapaian kepentingan nasional.
Kedua, pemajuan industri pertahanan melalui kerja mirip internasional. Sejak Indonesia mengembangkan industri strategis pada pertengahan 1970-an, kerja identik antar bangsa selalu menjadi salah satu pilar untuk mengembangkan industri yang mana kemudian juga kebijakan itu berlanjut sampai kini.
Oleh sebab itu, menerjemahkan kesepakatan kerja serupa pertahanan menjadi kemitraan industri merupakan suatu keharusan, di area tempat mana penerjemahan hal yang disebut harus selaras pula dengan prioritas teknologi pertahanan yang tersebut mana hendak dikuasai oleh Indonesia. Industri pertahanan Indonesia dituntut untuk selektif mengincar teknologi yang dimaksud mampu didapatkan dari prospek yang digunakan digunakan diberikan oleh kesepakatan kerja serupa pertahanan dengan negara-negara lain.
Aspirasi Indonesia untuk menguasai teknologi maju melalui kemitraan industri dengan negara-negara lain harus pula beradaptasi dengan kondisi internasional. Sejak lama negara-negara maju sudah pernah menerapkan kontrol ketat terhadap ekspor teknologi maju, baik teknologi pertahanan maupun dual-use technology.
Terkait hal tersebut, belum terlambat bagi Indonesia untuk menyusun aturan nasional tentang rezim keamanan teknologi pertahanan berdasarkan pertimbangan bahwa kekosongan aturan tentang hal itu selama ini menjadi salah satu penghalang akses Indonesia terhadap teknologi maju.
Penting untuk dicatat bahwa negara-negara maju memasukkan teknologi maju sebagai bagian dari keamanan nasional, sehingga ekspor teknologi yang digunakan disebut ke negara-negara lain memerlukan pertimbangan ketat.
Dengan kata lain, upaya Indonesia menerjemahkan kerja mirip pertahanan dari tingkat G-to-G menjadi kemitraan industri pada tingkat B-to-B harus berjalan pararel dengan proses penyusunan serta legislasi aturan mengenai keamanan teknologi pertahanan. Tanpa eksistensi rezim keamanan teknologi pertahanan, akan tetap sukar bagi Indonesia untuk dapat mengakses teknologi maju yang mana dapat mempercepat kemajuan industri pertahanan domestiknya.
Prancis lalu juga Amerika Serikat dapat menjadi kiblat bagi Indonesia untuk penyusunan aturan tersebut, dalam mana Indonesia dapat meminta-minta bantuan teknis kepada kedua negara dalam penyusunan aturan yang mana mana dimaksud. Selain pada tingkat nasional, aturan mengenai keamanan teknologi pertahanan juga harus diadopsi oleh industri pertahanan sebagai turunan dari aturan nasional.
Peran industri pertahanan diperlukan pula dalam penerjemahan kesepakatan kerja sejenis pertahanan menjadi kemitraan industri. Hal ini masih menjadi tantangan besar bagi industri pertahanan Indonesia, khususnya BUMN, mengingat bahwa BUMN industri pertahanan lalu anak usahanya pada masa pada masa kini tengah menghadapi kesulitan keuangan, sumberdaya manusia, kapasitas produksi serta juga lain sebagainya.
Kesiapan industri pertahanan domestik untuk melaksanakan B-to-B sebagai aksi lanjutan dari kerja serupa pertahanan di tempat tempat tingkat G-to-G merupakan isu kritis saat ini yang digunakan digunakan dihadapi oleh Indonesia.
Sebagai contoh, pemberian akses terhadap teknologi maju menuntut pula penyetoran modal oleh industri pertahanan, bukan semata pada perangkat lunak kemudian perangkat keras untuk menggalang kegiatan desain lalu produksi, tetapi pula pada bidang teknologi informasi guna menjaga agar teknologi yang mana itu diberikan tidaklah dapat diakses oleh pihak yang mana tak berhak.
Di tengah kondisi BUMN industri pertahanan juga anak usahanya yang tersebut cash-strapped, diperlukan intervensi pemerintah sebagai pemegang saham agar kondisi badan bisnis hal itu menjadi tambahan baik. Tanpa perbaikan secara menyeluruh pada BUMN serta anak usahanya, sukar untuk mengharapkan peran optimal firma-firma milik negara dalam mengimplementasikan kesepakatan G-to-G menjadi B-to-B.
Adapun peran perusahaan pertama swasta belum terlalu dapat diharapkan, kecuali bila firma swasta yang mana mana mempunyai kapasitas permodalan, sumber daya manusia juga produksi yang mana digunakan kuat. Pertanyaannya, mampukah pemerintah kemudian juga industri pertahanan bergandengan tangan menangkap kemungkinan kegiatan ekonomi dari kerja sebanding pertahanan dengan negara lain?