Opini  

Kedudukan Penjaminan Pemerintah Dalam Proyek Infrastruktur

Kedudukan Penjaminan Pemerintah Dalam Proyek Infrastruktur

republicberita.com –

Sunarsip

Sunarsip

Sunarsip adalah Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Sebelumnya menjabat sebagai Komisaris pada PT Pembangkitan Jawa Bali (2017-2021), Strategic Advisor Bank BRI (2018-2020), Chief Economist Bank Bukopin (2016-2018), Senior Economist Bank BNI (2015), Komisaris Bank BRI Syariah (2009-2015), Tenaga Ahli pada tempat Pertamina (2010-2014), Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (2005-2007), Staf Khusus Menteri BUMN (2004-2007), juga Analis Fiskal BKF-Kemenkeu RI (2004-2008). Akuntan dari STAN dan juga juga Magister Ekonomi dari FEB UI.

Profil Selengkapnya

Penjaminan pemerintah (government guarantee) adalah salah satu dari beberapa bentuk dukungan pemerintah yang tersebut mana diberikan dalam rangka proyek infrastruktur yang mana digunakan dijalankan melalui skema kerja sebanding pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau public private partnership (PPP) ataupun skema lainnya.

Secara teoritis, dukungan pemerintah terbagi ke dalam dua bentuk. Pertama, dukungan secara langsung (non-contingent support) yang mana dimaksud terwujud melalui kontribusi fiskal, pembebasan tanah, perizinan, insentif perpajakan, juga peran langsung dalam konstruksi.

Kedua, dukungan tidaklah langsung (contingent support) dalam bentuk penjaminan oleh pemerintah. Tujuan dari pemberian dukungan pemerintah tersebut, termasuk penjaminan pemerintah, adalah dalam rangka menimbulkan proyek infrastruktur hal yang menjadi layak secara finansial (financially feasible) sehingga para kreditur (lenders) bersedia memberikan pinjaman bagi pembiayaan proyek tersebut.

Yang dimaksud kontribusi fiskal dalam skema dukungan pemerintah pada dalam atas adalah kontribusi fiskal dalam bentuk finansial terdiri dari pemberian dukungan kelayakan atas sebagian biaya proyek pada proyek KPBU dalam penyediaan infrastruktur.

Karena sifatnya meningkatkan kelayakan finansial, dukungan ini dikenal dengan viability gap fund (VGF). VGF juga dimaksudkan untuk meningkatkan kepastian pengerjaan proyek infrastruktur guna mewujudkan layanan infrastruktur umum yang mana yang tersedia dengan tarif yang tersebut terjangkau (affordability) oleh masyarakat.

Secara umum, sumber pendanaan pada proyek infrastruktur terbesar dari pinjaman. Komposisi pendanaan biasanya 10%-30% merupakan dana internal sebagai ekuitas pemilik proyek, lalu sebagian besar sisanya, yaitu 70%-90% berasal dari pinjaman, tergantung dari jenis infrastrukturnya.

Mengingat dana eksternal (pinjaman) dalam komposisi pendanaan proyek memegang porsi terbesar, wajar bila lenders memohon penjaminan dari pemilik proyek. Tujuan dari penjaminan pemerintah adalah dalam rangka menciptakan proyek infrastruktur layak secara finansial (financially feasible) agar lenders bersedia memberikan pinjaman bagi pembiayaan proyek tersebut.

Belakangan ini, diskursus mengenai penjaminan pemerintah kembali menguat. Hal ini terjadi, terutama setelah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu RI) mengeluarkan kebijakan mengenai tata cara pemberian penjaminan terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana juga Sarana Kereta Cepat antara Jakarta lalu Bandung (PMK Penjaminan KCJB). Pro-kontra terhadap penjaminan pemerintah pun terjadi, terlebih dikarenakan proyek KCJB sudah pernah dilaksanakan lama menjadi diskursus publik.

Diskursus terkait penjaminan pemerintah terhadap proyek KCJB terutama bertumpu pada implikasi penjaminan terhadap risiko fiskal pemerintah. Kemudian, akibat penjaminan yang dimaksud disebut dikerjakan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) selaku Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI), diskursus selanjutnya adalah sejauh mana kapasitas PII mampu menjamin sekaligus menanggung kewajiban (liabilities) bila proyek KCJB mengalami gagal bayar (default).

Kedudukan Penjaminan KCJB
Proyek KCJB merupakan proyek strategis nasional (PSN). Keberadaan status KCJB yang digunakan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres PSN). Pasal 25 Perpres PSN menyatakan bahwa pemerintah dapat memberikan penjaminan terhadap PSN yang digunakan dilaksanakan oleh badan usaha.

Sebelum keluarnya Perpres PSN, pemerintah telah dilakukan terjadi menerbitkan Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana juga Sarana Kereta Cepat antara Jakarta kemudian Bandung (Perpres KCJB).

Melalui Perpres KCJB, pada awalnya proyek KCJB dirancang untuk tidaklah memanfaatkan infrastruktur penjaminan. Namun, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang digunakan digunakan merupakan revisi terhadap Perpres KCJB, proyek KCJB dirancang dapat memanfaatkan penjaminan pemerintah. Mungkin timbul pertanyaan: mengapa proyek KCJB diarahkan agar dapat memanfaatkan penjaminan pemerintah?

Perlu diketahui, KCJB merupakan proyek yang tersebut digunakan dibangun oleh perkumpulan BUMN bersama dengan penanam modal jika Tiongkok, yaitu China Beijing Yawan HSR Co.Ltd. Komposisi kepemilikannya adalah gabungan BUMN sebesar 60% kemudian sisanya 40% dimiliki China Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Sementara itu, aliansi BUMN terdiri dari PT KAI, PT Wijaya Karya, PTPN VIII kemudian PT Jasa Marga dengan PT KAI sebagai pemimpin (lead). Komposisi pendanaan proyek KCJB adalah 25% merupakan dana internal sebagai ekuitas pemilik proyek lalu 75% berasal dari pinjaman, dalam hal ini dari China Development Bank (CDB).

Sebagaimana sudah pernah diketahui, proyek KCJB mengalami keterlambatan penyelesaian konstruksi. Konsekuensi dari keterlambatan yang digunakan disebut menyebabkan penambahan biaya (cost overrun). Pada Mei 2023 lalu, besarnya cost overrun sudah ditetapkan sebesar US$1,206 miliar berdasarkan keputusan Komite Kereta Cepat.

Sesuai kesepakatan, pendanaan cost overrun ditanggung proporsional oleh para pemilik proyek (project owners) yang tersebut sekaligus bertindak sebagai pemegang saham KCJB. Untuk porsinya, pembiayaan cost overrun sebesar 25% akan dipenuhi dari ekuitas para pemilik proyek KCJB, di tempat area mana 60%-nya berasal dari gabungan BUMN.

Sementara itu, sebesar 75%-nya (dari cost overrun) akan dibiayai dari pinjaman para pemilik proyek secara proporsional. Dalam hal ini, aliansi BUMN memerlukan pinjaman sebesar US$542,7 juta.

Tentu bukan mudah bagi PT KAI sebagai lead aliansi untuk meyakinkan lenders (dalam hal ini CDB) agar memberikan pinjaman tambahan. CBD tentunya membutuhkan keyakinan bahwa pinjaman tambahan yang digunakan yang disebut diberikan dapat kembali.

Sekaligus, CBD juga membutuhkan bukti bahwa pemilik proyek, dalam hal ini pemerintah melalui BUMN lalu termasuk penanam modal selama Tiongkok, mempunyai komitmen tinggi terhadap kelangsungan proyek. Dalam konteks inilah, penjaminan pemerintah mempunyai urgensi untuk diberikan.

Melalui bukti dukungan penjaminan pemerintah tersebut, PT KAI dapat membuktikan komitmennya kepada CBD bahwa proyek akan berlanjut, sebagai dasar bagi CBD untuk melanjutkan komitmennya dalam memberikan pinjaman tambahan kepada KAI.

Dengan demikian, adalah tiada tepat bila muncul anggapan bahwa penjaminan diberikan untuk melindungi kepentingan investor, terutama pemodal dari Tiongkok. Penjaminan diberikan agar lenders tetap melanjutkan komitmen kreditnya untuk membiayai cost overrun pada proyek KCJB.

Risiko Fiskal Penjaminan KCJB
Praktik pemberian penjaminan oleh pemerintah, sebenarnya bukan hal baru dalam dalam Indonesia. Praktik pemberian penjaminan pemerintah sudah pernah dikerjakan dijalankan sejak 2006, sebagaimana yang tersebut digunakan dilaksanakan pada proyek percepatan pengerjaan (fast track) pembangkit tenaga listrik 10.000 MW Tahap Pertama.

Penjaminan yang digunakan disebut diberikan terhadap pembayaran kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kepada kreditur yang digunakan itu menyediakan pendanaan Kredit Ekspor, sepanjang ketidakmampuan PLN membayar kewajiban hal yang adalah akibat dari kebijakan Pemerintah.

Seiring berjalannya waktu, skema penjaminan telah lama lama mengalami perbaikan yang dimaksud dimaksud signifikan. Pada awal diterapkan, penjaminan proyek infrastruktur dijalankan secara langsung oleh pemerintah.

Konsekuensinya, pemerintah terekspos risiko fiskal dalam bentuk kewajiban kontijensi. Sehingga, bila proyek infrastruktur yang mana mana melibatkan penjaminan pemerintah mengalami gagal bayar, APBN akan secara langsung menanggung kerugian tersebut.

Sejak 2009, pemerintah telah terjadi terjadi membentuk BUPI yaitu PII yang yang disebut memberikan penjaminan bagi proyek infrastruktur. Kini, skim penjaminannya juga beragam. Yaitu, tiada semata-mata skim penjaminan skema KPBU (eksisting sebelumnya) tetapi bertambah dengan skim penjaminan pinjaman langsung BUMN sebagaimana yang mana digunakan sekarang ini dijalankan pada proyek KCJB.

PII menjalankan peran sebagai first loss absorber. First loss maksudnya adalah besaran porsi penjaminan dari BUPI yang mana mendapat penugasan untuk melakukan penjaminan pemerintah. Melalui mekanisme ini, PII berperan sebagai garda pertama yang digunakan hal itu akan menyerap risiko kerugian akibat gagal bayar.

Sehingga, melalui peran ini, PII sudah membantu memagari (ringfence) pemerintah dari timbulnya kewajiban kontinjensi juga meminimalkan kejutan langsung (sudden shock) kepada APBN. Dalam konteks penjaminan proyek KCJB, risiko fiskal yang digunakan mana timbul sebenarnya sudah diminimalisir melalui mekanisme mitigasi risiko oleh PII.

Sejauh ini, beban fiskal yang digunakan dimaksud timbul akibat penjaminan baik yang dimaksud hal tersebut berasal dari penjaminan langsung oleh pemerintah maupun PII sebenarnya relatif kecil. Hal ini tercermin dari kinerja APBN yang digunakan dimaksud selama ini cukup solid.

Kemudian, PII sebagai BUPI juga memperlihatkan kinerja profitabilitas yang dimaksud mana konsisten mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini sekaligus memperlihatkan dua hal penting.

Pertama, bahwa pengelolaan penjaminan oleh PII sudah pernah dijalankan dengan cara-cara yang mana mana baik serta hati-hati (prudent). Kedua, pihak terjamin pun memperlihatkan komitmennya yang tersebut tinggi dalam menjalankan pengelolaan keuangan secara baik yang digunakan digunakan berdampak pada rendahnya klaim yang dimaksud harus dibayarkan PII sebagai penjamin.

Kondisi ini dapat terwujud antara lain sebab dalam mekanisme pemberian penjaminan oleh PII juga dijalani berbagai upaya mitigasi risiko penjaminan. Salah satu langkah mitigasi risiko yang digunakan dilaksanakan adalah melalui penerapan kewajiban bagi terjamin (penerima penjaminan) untuk membuka rekening khusus (sinking fund).

Dalam konteks penjaminan proyek KCJB ini, ketentuan sinking fund yang juga diatur dalam PMK Penjaminan KCJB. Di mana, melalui rekening khusus ini, pihak terjamin wajib menempatkan juga menjaga keutuhan dana minimal sebesar setara dengan jumlah keseluruhan agregat cicilan pokok kemudian juga bunga pinjaman yang dimaksud hal tersebut akan jatuh tempo pada tiga periode pembayaran kewajiban selanjutnya. Dengan langkah mitigasi ini, maka deteksi dini terhadap kemampuan membayar pinjaman dari pihak terjamin dapat terpantau setiap saat.

Penulis berpendapat bahwa penjaminan terhadap proyek KCJB adalah langkah yang digunakan hal itu paling realistis dibandingkan dengan opsi lainnya. Ini mengingat, terhambatnya proyek KCJB akan memberikan risiko yang dimaksud lebih lanjut besar besar terutama terkait reputasi Indonesia pada area mata penanam modal lalu juga lenders.

Di sisi lain, tidaklah terselesaikannya proyek KCJB secara tepat waktu juga berpotensi dapat menimbulkan tuntutan hukum dari para pihak yang itu terlihat dalam proyek tersebut. Selain itu, kita juga berpotensi akan kehilangan memperoleh manfaat perekonomian yang digunakan dapat dihasilkan oleh kehadiran proyek KCJB tersebut, bila proyek ini tiada ada berjalan sesuai rencana.

Ini mengingat, selain pengembangan infrastruktur transportasi publik, melalui proyek KCJB juga dikembangkan kawasan terintegrasi atau Transit Oriented Development (TOD). Konsep TOD yang tersebut dipadukan dengan kereta cepat diperkirakan dapat meningkatkan kemudahan akses, sehingga diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan dunia bisnis daerah sekitar.